25 Oktober 2012

Kursi Favorit


Aku kembali mengunjungi nenekku di ulang tahunnya yang ke-104.

Sebenarnya tahun ini beliau berulang tahun ke-101, namun karena mengikuti tradisi Cina maka beliau menganggap dirinya berumur 104 tahun.

Kebiasaan yang lumrah adalah menambah 1-2 tahun pada umur sebenarnya.  Namun nenekku menambah 3 tahun pada umurnya, karena beliau membuat persiapan untuk dirinya sendiri.  Beliau tidak ingin anak-anaknya lupa menambahkan 1 tahun umurnya di hari kematiannya.

Ada tradisi soal umur saat orang Cina meninggal.  Biasanya, mereka akan menambahkan 3 tahun lebih banyak umurnya dari umur sebenarnya.   Alasannya, semakin tua seseorang dapat menjalankan hidupnya menunjukkan betapa ia telah mengenyam dan menikmati hidup itu.  

Mengapa harus 3 ? 1 angka untuk langit, 1 angka untuk bumi dan 1 angka untuk diri sendiri. Itu diyakini membentuk keseimbangan dalam hidup manusia.

Kali ini tidak terlalu banyak keluarga yang menghadiri ulang tahun beliau.  Awalnya, aku sendiri juga tidak terlalu ingin datang , namun Pio menyadarkanku bahwa kesempatan tidak datang dua kali.  Akhirnya aku meninggalkan anak-anak dan setumpuk pekerjaanku dengan senang hati.


Saat kami datang, beliau sangat suka cita. Walaupun beliau tidak bisa langsung mengingat namaku dan Pio  namun kami tahu ada waktunya beliau ingat kami.  Namun kondisi beliau saat ini tidak terlalu baik .  Dua hari sebelum ulang tahunnya, beliau jatuh dan terluka.  Kening kirinya tergores dalam, pipi kirinya memar besar dan kakinya bengkak. Beliau mengeluh sakit sekali.   Pio dengan telaten mengoleskan obat pada kaki dan pipinya yang memar.  Terus terang hatiku miris melihat kondisinya.


Namun ada saat-saat yang bisa membuatku tersenyum saat menemaninya duduk dan mendengarkannya berbicara.  Misal saat nenekku mengenalkan papaku padaku !



Nenek     : " Itu anakku yang nomor 5..." (sembari menunjuk pada papaku yang baru masuk menghampirinya)
Aku         : "Wah ... ganteng juga ya anak nomor 5 ini " (tersenyum lebar)
Nenek     : "Ya... anak-anakku memang ganteng dan baik-baik" (bangga mode on)
Aku         : "Pasti pacarnya banyak nih..."

Lalu kemudian mamaku masuk menghampiri kami.
Nenek    : "Nah, anak gadis ini dari kecil suka bermain di sini .." (sembari menunjuk mamaku dan berbisik pelan padaku)
Aku        : "Wah cantik juga nih ..."
Nenekku kemudian melanjutkan banyak cerita tentang keluarga mamaku. Memory beliau tentang masa lalu masih termasuk tajam.

Aku sempat berpikir ulang, mengapa beliau dengan umur setua itu masih bisa mempunyai ingatan yang tajam sedangkan aku tidak ? Aku bahkan sulit mengingat siapa saja teman SD, SMP, SMA dan kuliah.  Aku juga tidak terlalu banyak mengingat hal-hal di masa lalu dan sulit menghafal nama-nama orang.

Beliau mempunyai kursi favorit.  Posisi kursi itu tidak pernah bergeser selama puluhan tahun.  Aku tidak tahu apakah kursi itu sudah pernah diganti dengan yang baru atau tidak, yang selalu terlihat adalah ada sepasang kursi rotan di ruang itu .

Kursi itu diletakkan di samping jendela di lantai dua rumah itu. Saat jendela terbuka, maka terlihatlah pemandangan pasar.  Banyak orang lalu lalang, musik CD yang diputar, abang-abang beca dan ojek yang menunggu pelanggan, warung-warung kopi dan jamu , warung nasi , penjual baju, dan lain-lain.


Berpuluh-puluh tahun nenekku duduk di kursi favoritnya di samping jendela itu dan berpuluh-puluh tahun beliau menikmati pemandangan seperti itu. Mungkinkah karena kursi yang terletak di samping jendela itu yang membuat beliau tetap memiliki ingatan yang baik ?

Mungkinkah karena beliau selalu duduk dan menjadi pengamat orang-orang dengan segala kesibukan mereka, membuat beliau juga berpikir ?  Tanpa sadar pikiran-pikiran itu membuat otaknya tetap terasah dan itulah sebabnya memorinya tidak jauh berubah setelah berpuluh-puluh tahun lamanya ?





Moral :

Rutinitas hanyalah sebuah kegiatan yang tidak pernah ada habisnya.
Saat rutinitas mulai melekat erat , ia menjadi satu kebiasaan hidup kita.
Saat kebiasaan itu telah mendarah daging, pilihan manusia hanyalah ingin menjadi budak rutinitas atau menjadi pengatur rutinitas itu.