02 Mei 2013

Kenyalnya Lamian Baiyun


Dalam penerbangan pulang kali  ini aku tidak mampir ke kota Guangzhou seperti biasanya.    Setiap setahun sekali kota Guangzhou akan mengadakan pameran besar dan mengundang minat banyak orang dari luar negeri untuk mengunjunginya.

Oleh karena itu harga hotel akan naik 3-4x lipat. Kamar hotel yang biasa aku tinggali seharga RMB.420,- menjadi harga RMB.1200. 
Untuk itu aku  memutuskan untuk tidak tinggal bermalam di Guangzhou dan memilih  melakukan penerbangan lanjutan.

Setelah penerbangan pertama, aku memiliki sisa waktu 4 jam untuk ke penerbangan selanjutnya.  Pio bermaksud keluar dari airport dan jalan-jalan menggunakan MRT. 
Namun dengan pertimbangan waktu dan kami menunggu barang pesanan kami diantar, akhirnya kami memutuskan tidak keluar dari airport.

Akhirnya yang bisa dilakukan adalah mencari makanan !
Namun, makanan di airport biasanya mahal dengan rasa pas-pasan.  Saat  aku berjalan mencari restaurant bersama Pio, aku mendengar karyawan airport berkata mereka 
sedang menuju tempat makan dan ia ingin makan nasi hainam.

Wah... sepertinya menarik dan enak.  Maka diam-diam aku mengikutinya. 
Sampailah kita di satu restaurant yang sangat besar (melebihi besar restauran lain di airport).  Di sana banyak sekali orang-orang makan. Tempat-tempat duduk full, tidak seperti restaurant lainnya.

Begitu aku melihat daftar harga makanan... aku tercengang.  Semua berkisar di bawah RMB.10.  Aku tidak menyangka ada tempat makan semurah ini di airport.
Di restaurant lain , seporsi wontoon (pangsit) atau semangkok mie dihargai RMB.30-40.   Wah  senang benar rasanya ketemu tempat makan semurah ini !

Namun aku kembali memperhatikan, ternyata tidak ada seorangpun mendorong koper. Dan kebanyakan mereka berbaju pegawai dengan tali name tag di leher.  
Dan aku kemudian sadar, ternyata ini adalah restaurant khusus karyawan airport Baiyun (nama airport Guangzhou).
Aku tidak melihat karyawan-karyawan itu membayar menggunakan uang. Akhirnya aku bertanya kepada seorang wanita dengan baju biru dinasnya.

(Wbb : Wanita baju biru ; Pr : Pria)
Aku     : "Maaf, dimana saya harus membayar ya ?"
Wbb menatapku dengan aneh dan akhirnya aku mengulang lagi pertanyaanku.
Aku     :" Maaf, dimana saya harus membayar ? Apakah restaurant ini hanya khusus untuk karyawan ?"
Wbb tersenyum dan tampaknya ia mengerti. 
Wbb     :" Benar, ini restauran karyawan..."
Kemudian seorang rekan prianya datang dan menyela.  Dia mendengar pertanyaanku dan  ia menjawab .
Pr         : "Mau makan ?"
Aku     :" Ya... bayar dimana nih ?"
Pr         :" Ga usah bayar..."
Aku menatapnya dengan pandangan tidak percaya 
Aku     :" Masa makan ga bayar ? Saya bukan karyawan sini lho ! "

Wbb tertawa dan menyuruh rekan prianya mentraktirku.  Namun aku menolak dan bilang aku akan membayar sendiri.
Akhirnya sang pria membantuku memesan makanan dan menggesek kartu karyawannya.  Aku memesan lamian (mie kuah) dengan total harga RMB.16,- untuk 2 porsi. 
Dan aku memberinya RMB.20,- .  Aku menolak kembalian dan berterima kasih kepadanya.  Sang  pria yang sopan itu juga mengucap terima kasih kepadaku dan katanya "Lumayan hari ini saya untung..." :D . 

Kemudian aku membawa makanan ke meja.  Saat aku mencari Pio, ternyata Pio duduk di depan restaurant itu.  Pio melambaikan tangan dengan maksud dia tidak boleh masuk karena membawa koper. 

Akhirnya aku makan sendirian sambil sekali-sekali tersenyum karena tidak bisa menahan tertawa.    Aku berbagi tempat duduk dengan karyawan lainnya.  Dan tidak ada yang curiga kalau aku bukan karyawan.  Mungkin karena penampilanku yang biasa sekali.  

Lamian yang aku makan lumayan enak karena terasa kenyal.  Hanya saja karena aku kuatir lamian pio menjadi lembek, maka aku makan tergesa-gesa.

Kemudian kami berganti tempat. Pio masuk dan makan, aku keluar dan menunggu koper.  Tak sampai 5 menit, Pio sudah keluar. 
Aku : "Lho kok cepat benar... Pio makannya pake tegang ya ?"
Pio         : "Ya ialah... gila benar, semua kan karyawan.  Kalau  ketahuan gimana ?"
Aku : "Ya ga apa-apalah... kan Mio bayar, ga nyuri..."
Pio         : "Ah lain kali ga mau gini ah....bikin Pio stress aja !"
Aku : "Ah lain kali ga bakal bisa masuk lagi.... kecuali, mio  ketemu lagi sama pria tadi....hmmm, harusnya Mio minta nomor telponnya yaa.."
Pio         : "Dasar Mio edan ..." (sambil melotot)

Aku suka dengan pengalaman baru, dimana setiap pengalaman akan punya nilai belajar tersendiri dan lebih dari itu, kemungkinan besar tidak terulang untuk kedua kalinya. 

Ini bukan mengenai kenyalnya lamian atau murahnya makanan, tapi aku belajar dan melihat bagaimana negara lain berusaha mensejahterakan karyawannya dengan menyediakan fasilitas makan yang murah namun berkualitas.
Memang  tidak banyak pilihan makanan, namun buatku itu sudah lebih dari cukup karena porsi makanan cukup banyak, mengenyangkan, bersih dan enak.

Karyawan juga diharuskan merapikan semua peralatan makan yang mereka pakai dengan membuang sampah makanan sendiri dan meletakkan tray pada tempatnya.
Rasanya... aku tidak berada di Cina :D

Pengalaman ini juga mengajarkan bahwa tampil biasa-biasa saja ternyata bisa berdampak menguntungkan.... (:D lagi)


Moral : 
Be brave...
Take risks...
Nothing can substitute experience...

07 Februari 2013

1+1=2 atau 1+1=3 ?

Aku menghadiri PTM (Parent Teacher Meeting) di sekolah Nad beberapa hari yang lalu.  Saat melihat ada beberapa orang tua yang aku kenal, aku bergabung bersama mereka.
Aku tidak terlalu mengenal mereka karena aku jarang sekali ke sekolah untuk menjemput atau menghadiri pertemuan-pertemuan.  

Seorang teman yang aku kenal bertanya :
Mama S : "Sudah lama benar ya ga ketemu...Kok ga pernah lihat kamu jemput anak-anak sih ?"
Aku         : "Anak-anak sudah besar... kenapa harus dijemput lagi ?"
Mama S : "Iya juga sih ..."

Kemudian aku terlibat dalam perbincangan dengan seorang mama teman Nad yang aku tidak kenal .
Aku          : "Mau melanjutkan sekolah kemana si Oli ?"
Mama O : "Belum tahu juga nih... kemungkinan besar England, karena dia mau mengambil kedokteran"
Aku          : "Ooo... bagus dong. Oli kan pintar, pasti dia juga mampu "
Mama O : "Nad mau kemana ?"
Aku          : "Masih bingung juga nih...."
Mama O : "Oli kan anak cowok, jadi harus banyak melihat kemana-mana.  Kalau anak perempuan sih ga harus... habis married kan milik orang lain ..."

Aku tercengang mendengar perkataannya.  Seorang ibu yang duduk di sebelahnya memalingkan muka setelah mendengar pernyataan itu. 
Aku yakin, dia punya anak perempuan dan merasa tidak nyaman dengan kata-kata yang baru saja dilontarkan mama O.

Aku mengalihkan topik pembicaraan dan berbicara hal yang lain.  Namun kemudian si Mama O kembali mengeluarkan pernyataan yang sama ," Anak laki harus melihat banyak, harus punya teman banyak , kalau anak perempuan tidak menjadi masalah. Toh ntar married dan keluar dari rumah...."

Aku menahan diri untuk tidak marah dan berdebat dengannya, akhirnya aku berkata ," Maaf... saya mau pindah duduk di belakang".  Lalu aku bangkit dan pindah. Aku yakin dia tidak suka dengan caraku. Namun, aku tidak peduli karena aku juga merasa bosan dengan perbincangan seperti itu.

Aku tidak mengerti mengapa seorang ibu bisa mengeluarkan pernyataan menyakitkan seperti itu. Dia juga memiliki anak-anak perempuan.  Anak laki maupun anak perempuan adalah anak yang lahir darinya. Mengapa harus membedakan perlakuan terhadap anak karena gender ?

Pernyataannya mama O menjelaskan  bahwa anak laki-laki jauh lebih berharga dari anak perempuan.  Oleh karena itu, ia harus memperlakukan anak lelakinya lebih spesial baik dalam pendidikan dan segala sesuatunya.  Tanpa dia sadar, dia sedang membesarkan dan mendidik anak-anaknya untuk melakukan diskriminasi gender.

Anak lelakinya akan belajar dan mengerti bahwa dia adalah sosok yang berharga dan harus diperlakukan lebih baik, sedang anak perempuan akan belajar dan mengerti bahwa dia hanyalah seorang  perempuan dan dia kurang berharga serta harus berpuas diri dengan perlakuan-perlakuan yang menomor-duakan  dirinya.

Itukah yang seharusnya anak-anak terima dalam didikan hidup mereka ?
Apakah anak-anak bukan manusia ? Dan keberhargaan diri mereka sebatas gender ?

Sekilas perbincanganku dan pemikiran Nad tentang hal ini :
Aku : "Mama O itu kan orang kaya dan Mio yakin dia juga terpelajar, tapi kok cara berpikirnya begitu.."
Nad : " Itu pasti karena dia telah terbiasa diperlakukan seperti itu. Waktu kecil, dia diperlakukan sama makanya setelah berkeluarga cara berpikirnya tidak berubah"
Aku : " Tapi dia seorang mama... Hati seorang mama mampu mengalahkan banyak hal"
Nad : " Pengertian gender bagi dia 1+1=2  dan bagi kita 1+1=3..."

Aku sempat memikirkan maksud perkataan Nad.  Saat aku sadar artinya, aku tersenyum senang. Nad seorang gadis perempuan kecil dengan analogi dan pengertian yang baik.

Maksudnya 1+1=2 adalah itu sesuatu yang biasa dan sudah diterima sebagai suatu kebenaran.  Mama O telah biasa menerima kebenaran bahwa anak lelaki harus menerima perlakuan lebih daripada anak perempuan.

Sedang dalam keluargaku jika pengertian 1+1=3 adalah itu sesuatu yang tidak biasa buat orang lain namun hal itu diterima sebagai kebenaran maka itu adalah pilihan mendidik dan membesarkan anak-anakku.

Hmmm.... ternyata berbicara dengan anak berumur 15 tahun lebih menyenangkan dibandingkan seorang ibu berumur 40 tahun...  :D


Moral :

Jika seseorang percaya bahwa hidup dan diri mereka dibatasi oleh ras, jenis kelamin atau latar belakang, maka itulah awal kerapuhan.





23 Januari 2013

TTM

Seorang teman SMA ku yang juga tetangga masa remaja memilih menjadi single parent dalam pernikahannya.  Ini telah dijalankannya cukup lama, sepengetahuanku paling tidak sudah di atas 10 tahunan.  

Teman ini adalah sosok yang pandai dan cantik. Semasa SMA ia adalah bunga sekolah kami.  
Namun pernikahannya membawa luka di jiwanya dan akhirnya dia memutuskan bercerai dan menjadi single parent.

Semalam, di dalam grup BB SMA kami berbincang-bincang. Awalnya hanya guyonan biasa namun akhirnya menjadi sesuatu yang serius dan membuatku berpikir dan ingin menuliskannya di sini.

Teman ini menanyakan apakah seharusnya ia menikah kembali. 
Bapak J : "Jangan... lebih baik kamu memikirkan kepentingan anak kamu "
Aku        : " Kenapa tidak ? Jika kamu yakin , lakukan saja... Suatu hari anak akan meninggalkanmu maka kamu harus mencari kebahagiaan sendiri "
Teman   : "Tapi kalau hasilnya sama saja bagaimana ?"
Aku        : "Jangan ada penyesalan, cukup itu saja... Paling tidak kamu mencoba keyakinan kamu, jika tidak dicoba maka kita tidak akan pernah tahu hasilnya.  Namun jika kenyataan di depan tidak seperti yang kita harapkan - ya sudah ..."
Bapak I : " Hidup itu cuma sekali saja, tidak ada salahnya mencoba.."
Teman  : " Tapi aku ragu..."
Aku       : " Jangan menikah kalau kamu ragu... jadikan saja TTM (teman tapi mesra) :D
Ada kalanya, berteman jauh lebih baik daripada menikah..."
Teman  : " Kalo begitu...TTM aja deh .." 

Perbincangan kami menarik karena ada pro dan kontra didalamnya.  Saat Bapak J bilang akan lebih sulit seorang wanita berumur mendapat jodoh dibandingkan seorang gadis.
Ada kebenaran di sana, namun saat jodoh dan cinta itu datang itu di luar kuasa manusia.

Ada banyak orang-orang yang menikah pada saat mereka tidak lagi muda dengan pasangan yang juga tidak muda. Namun mereka bahagia... melebihi kebahagiaan pasangan-pasangan muda.  

Seringkali kebahagiaan kita hilang karena trauma masa lalu kita.  Seperti temanku ini, sebagai seorang wanita jelas ia ingin sekali mendapat seorang pria yang bisa menjadi tempat bersandarnya.  Namun, trauma dan luka jiwanya membuatnya mundur dan ragu untuk mencoba lagi.

Saat Bapak J mengatakan bahwa temanku terlalu banyak memilih dan menuntut kemapanan, aku tersenyum dan menimpalinya," Apa salahnya mencari pasangan yang mapan ?" 

Berbicara soal kemapanan, setiap wanita pasti ingin mendapat pasangan yang telah mapan dan itu sangat realistis.  Namun, untuk seorang single parent yang bertahan untuk tidak menikah di atas 10 tahun, hal itu pastinya bukan di urutan pertama pertimbangannya. 

Ada lebih banyak pertimbangan yang membuatnya ragu.  Apakah bisa mendapatkan seorang yang benar-benar mencintai dan menerimanya apa adanya.  Apakah jiwanya tidak akan terluka lagi ?  Itulah pertimbangan trauma yang terus membelenggu dirinya.


Moral :
Sebenarnya dunia tidak menjanjikan apa-apa buat hidup kita.
Terlihat menawarkan kebahagiaan namun sebenarnya ada banyak penderitaan.
Terlihat menyodorkan kesenangan namun ada banyak kepedihan didalamnya.
Dunia menjanjikan kenikmatan sekaligus rasa bersalah dalam jiwa manusia.
(Diambil dari renungan Daily Devotion)

18 Januari 2013

Betis, Dengkul, Paha, Pinggang, Dada.....

Masih dalam suasana banjir dan aku memilih menulis di balkon sambil menikmati hujan, banjir, langit abu-abu dan segelas kopi.

Banjir mulai surut.  Kemarin air yang masuk sudah mencapai sebetis.  
Nah..karena terlalu seringnya banjir terjadi di Indonesia membuat orang Indonesia lebih mudah memprediksi tingginya air dengan ukuran tubuh.

Ini tweet dari seorang asing mengenai banjir di Indonesia :
"Everywhere in the world flood is measured by "centimeters" or "meters'.  Only in Indonesia flood is measured by "betis, dengkul, paha, pinggang, dada"... I am confused !!!"  :D

Tapi itu adalah kenyataan dan memang rata-rata orang di Indonesia sudah terbiasa mengukur banjir dengan ukuran tubuh mereka. Mau itu anak-anak maupun orang dewasa...
Ukuran tersebut membuat orang yang mendengarnya bisa membayangkannya dengan mudah.  

Saat Vin pulang dari sekolah, dia berteriak ,"Mami... air di apartemen depan sekolah sudah mau sedada lho !"

Saat sopirku melapor," Wah, waktu saya datang... air di perumahan kompleks sebelah sudah sepaha bu.."

Saat pio bilang ke tetangga ," Air di blok ini lebih tinggi lho... sepaha ! Kalo di blok ujung sana cuma sebetis !!!"

Bahkan aku juga menulis di blog ini ..."air yang masuk mencapai sebetis .." :D

Kebiasaan ini tidak akan mudah dirubah, kecuali Indonesia tidak lagi dilanda banjir sampai puluhan tahun mendatang. Dimana, orang-orang sudah mulai melupakan kapan terakhir mereka mengalami banjir. Mereka juga sudah lupa ketidaknyamanan yang terjadi. Saat itu, mereka akan mengukur banjir dengan sentimeter dan meter.

Baru saja melintas 2 orang anak perempuan di atas perahu karet.  Mereka berdayung dengan gembira.  Seorang bapak juga berusaha menangkap ikan kecil dengan jaring.  Di televisi aku melihat anak-anak telanjang bermain air. Ada juga bapak dan ibu yang mengajak anak-anaknya bersepeda melihat keadaan banjir di Thamrin.  Semacam wisata pengetahuan. Mereka ingin mengajarkan anaknya menyadari bahwa masih banyak orang yang tidak beruntung, jadi tidak seharusnya mereka mengeluh.   Yah... itu yang seharusnya dilakukan.  

Karena banjir, paling tidak Pio bisa beristirahat.  Demikian juga aku, akhirnya bisa menulis lebih banyak.  Anak-anak menikmati tontonan masing-masing.  Mbak juga beristirahat.  Jadi, keadaan seperti ini tidak seluruhnya merugikan ...


Moral :
"A habit cannot be tossed out the window; it must be coaxed down the stairs a step at a time." 
-Mark Twain-

Banjir dan Kecoa

Saat membuat tulisan ini, Jakarta lagi terendam banjir.
Sejak 2 hari yang lalu, beberapa kawasan di Jakarta telah terendam banjir dan banyak warga yang telah diungsikan atau mengungsi.  

Akhirnya.... pagi ini air masuk juga ke dalam rumah.  Saat aku menulis air sudah mencapai semata kaki.  
Aku tidak berani menggerutu dan hanya bisa bersyukur karena aku masih bisa memiliki tempat kering di lantai 2 bahkan masih bisa menulis dan menggunakan internet.  Apa lagi yang kurang ?  Saat ini banyak sekali kawasan di Jakarta yang terendam dalam, lampu padam , dan masalah-masalah lainnya.

Kemarin , ibu pencuci baju di rumahku mengeluh karena rumahnya terendam banjir.  Semua kasurnya basah.  

Ibu Y  : "Aduuh... emang nasib orang miskin. Selalu saja dikasih masalah !"
Aku     : "Kasur yang terendam ibu jemur saja..."
(walaupun aku juga prihatin karena mau tidur di mana mereka sekeluarga ?)
Ibu Y  : "Kenapa juga orang miskin yang kena banjir ? Makanya ga enak jadi orang miskin!"
Aku     : "Siapa bilang banjir milih orang ? Orang kaya atau miskin kalau rumahnya kena banjir yah kena banjir aja bu..."

Percakapan ini membuatku berpikir bahwa rasa bersyukur dalam diri setiap orang itu memang sangat diperlukan.  Manusia tidak pernah lepas dari masalah.  Masalah bisa diselesaikan dengan banyak pilihan.  Aku adalah jenis manusia yang memilih menyelesaikan masalah dengan menjalankan dan bersyukur. 

Saat 2007 Jakarta juga mengalami banjir besar seperti sekarang. 
Saat itu, rumahku cuma 1 lantai dan semuanya terendam habis. Kami sekeluarga mengungsi ke apartemen adikku.  Vin senang sekali karena sekolah libur dan bisa bermain bersama sepupunya.  Sekalipun hati ini resah namun aku pasrah menerima semua apa adanya. Aku memilih untuk tidak khawatir .  Akhirnya, semua juga lewat... 

Tadi pagi saat air mulai naik di teras rumah, kecoa-kecoa mulai berlarian.  Karena geli melihat kecoa-kecoa tersebut, aku mulai memukuli mereka dengan sandal.
Kemudian aku menjadi sadar, saat melihat kerumunan kecoa yang semakin banyak... mereka hanya ingin bertahan hidup.  Akhirnya , aku berhenti memukuli mereka dan mulai memasang kain dan bata di kolong pintu untuk menghalangi mereka masuk.

Hal demikian terjadi juga dalam  hidup kita saat banjir ini.  Saat kita panik menghadapi banjir, kita mulai menggerutu, menyalahkan banyak hal bahkan Tuhan sebagai pihak yang menyebabkan bencana ini. Banyak yang mengeluh ," Duh Tuhan, kenapa sih hujan melulu?".
Alih-alih kita berpikir dan menyalahkan Tuhan sebagai penyebab bencana, lebih baik kita merubah pola pikir untuk survive seperti kecoa-kecoa tersebut.

Jika kecoa saja dengan naluri keseranggaannya mencoba bertahan hidup , mengapa manusia dengan naluri kemanusiaannya tidak mencoba bertahan memiliki pola pikir yang positif ?

Jika manusia bisa bertahan seperti itu, maka rasa bersyukur kita dalam menghadapi masalah apapun tidak mudah tergerus oleh ketidaknyamanan yang ditimbulkan sang masalah.

Seorang teman berkata dalam chat-an bb ," Mudah-mudahan tidak hujan lagi.."
Aku menjawabnya " Hujan masih tetap akan turun beberapa hari ini dan itu tidak bisa dirubah, lebih baik kamu mintanya mudah-mudahan hujannya rintik-rintik saja dan cukup 5 menit ..." :D 


Moral :
Survivors aren't always the strongest...
Sometimes they are the smartest...
But, more often simply the luckiest.
-Carrie Ryan- 

16 Januari 2013

B & D 2012..... (Books & Dramas)

Sedikit catatan tambahan untuk penutup tahun 2012 :D

Bagiku tahun 2012 adalah tahun yang cukup menyenangkan.  Di balik setiap kesibukan , stress, kecapekan ... selalu ada suka cita bersamanya.

Selama satu tahun ini aku mencatat buku dan drama yang telah aku tonton.  Dan ternyata, aku lebih kecanduan menonton daripada membaca ... (walaupun jumlah buku berbanding film lebih banyak)

Drama Korea 2012 :
1. Heartstrings (15 eps)
2. Lie To Me  (16 eps)
3. Scent of A Woman (16 eps)
4. Feast of The Gods (32 eps)
5. A Thousand Day's Promises (20 eps)
6. Big ( 16 eps)
7. King Fashion (20 eps)
8. To The Beautiful You (16 eps)
9. The King 2 Hearts (20 eps)
10. My Girlfriend Is A Gumiho (16 eps)
11. Full House Take 2 (32 eps)
12. I Do I Do (16 eps)
13. Arang And The Magistrate (20 eps)
14. Hero (16 eps)

Hampir semua film yang aku tonton cukup menarik.  Karena biasanya aku akan melihat komentar dan kritik film tersebut sebelum memulai menonton.

Tanpa terasa aku telah menjadi penonton setia film korea sejak tahun 2001. 
Waktu itu aku sedang mengandung Vin dan film Korea pertamaku adalah Hotelier.  Karena begitu berkesan maka aku bisa mengingat nama pemainnya : Bae Yong Joon  (:D
Namun semakin lama dan semakin banyak film yang aku tonton, aku tidak lagi bisa mengingat nama-nama aktor dan aktris Korea,  kecuali acting mereka benar-benar berkesan buatku.  Untuk pemain muda aku menyukai Lee Seung Gi.  Beberapa filmnya memang menarik.

Lalu, apa yang aku baca di 2012 ?
1.  Simple Present Past Love (Thia Kyu Ori) - 232 pages
2.  Hunger Games (Suzanne Collins) - 384 pages
3.  Catching Fire (Suzanne Collins) - 391 pages
4.  Mockingjay (Suzanne Collins) - 390 pages
5.  The Power of Giving (Harvey MCkinnon & Azim Jamal) - 192 pages
6.  Lightning Thief - Percy Jackson (Rick Riodan) - 375 pages
7.  47 Kisah Persahabatan Terunik Antar Binatang  (Jennifer Holland) - 160 pages
8.  Tipping Point (Malcolm Gladwell) - 320 pages
9.  Anak Sejuta Bintang (Akmal Nasery Basral) - 400 pages
10.Vegetable Gardening (Galuh Iritani) - 115 pages
11. The (Un)Reality Show (Clara Ng) - 350 pages
12. Berciuman Dengan Mata Terpejam (Hoeda Manis) - 382 pages
13. Meramu Media Tanaman Untuk Pembibitan (Arrum Lestariningsih) - 87 pages
14. Cara Dodol Jadi Cowok Cool (Chuck Durden Project) - 141 pages
15. Supernova 1 - KPBJ (Kesatria, Putri  & Bintang Jatuh) - 318 pages
16. I Am Number Four the Lost Files - The Legacies (Pittacus Lore) - 440 pages  

Untuk penulis fiksi, aku menyukai alur cerita penulis luar.  Karena beberapa alur cerita mereka tidak terduga, sedangkan alur penulis Indonesia masih mudah sekali ditebak.    Aku menyukai tulisan Hoeda Manis walaupun beberapa cerita inspiratifnya bukan hal yang baru kubaca.  Demikian juga penulis bagus lainnya seperti Andrea Hirata dan Ahmad Tohari.


Mungkin karena minat baca penduduk Indonesia yang masih lemah, membuat penulis-penulis kurang mendapat kritikan dan dukungan. 

Aku menarik kesimpulan, drama Korea tidak jauh berbeda dengan ending cerita penulis Indonesia. Namun, apa yang membuat drama Korea tetap ditonton orang-orang di seluruh dunia walaupun waktu boomingnya telah melewati 10 jari ini ? Karena, akhir kisah cerita bisa memberikan pelajaran dan kesan mendalam buat penonton, di luar faktor adanya aktor dan aktris yang menarik. :D 

Saat aku mengatakan pada temanku bahwa ada drama Korea yang baru tayang dan menarik, dia bilang , " Ntar dulu deh... aku masih berbunga-bunga habis nonton film yang ini...".  Padahal drama yang dia tonton adalah drama awal 2011.

Suatu hari, penulis Indonesia juga akan bisa membuat pembaca merasa berbunga-bunga seusai membaca tulisan mereka.  Suatu hari.... pasti bisa !


Moral :
“You can make anything by writing.” 
― C.S. Lewis