Pengalaman baruku adalah membeli buku kiloan di Cina. Dekat Beijing Road di Guangzhou aku menemukan sebuah toko buku yang menjual bukunya dengan harga di kilo.
Wah, seandainya aku fasih membaca tulisan cina, pasti sudah ku borong buku-buku itu.
Pio membeli 3 buah buku design. Setelah di timbang ternyata aku hanya perlu merogoh kocek dan membayar RMB.42 (Rp. 80.000,-). Bahkan papaku membeli sebuah buku masak buat mamaku hanya dengan RMB.11,- (Rp.21.000,-). Harga yang tidak mungkin bisa aku temukan di toko buku Jakarta.
Aku jadi bertanya, mengapa Indonesia tidak menjual buku-buku murah ya ? Rata-rata satu buku yang aku beli berkisar di atas 50 ribu rupiah. Mungkin itulah salah satu faktor mengapa aku sering menemukan anak-anak dengan minat baca yang rendah.
Padahal begitu asyiknya membaca dan mendapat pengetahuan dari buku-buku.
Papa mertuaku adalah seorang pembaca buku. Sampai kemudian di usia lanjut, dia tidak berputus asa saat matanya tidak lagi bisa membaca dengan jelas. Saat kacamata tidak lagi begitu membantu dia, kaca pembesar menjadi penolongnya. Namun akhirnya setelah segala sesuatu melemah, dia berhenti membaca.
Terus terang ada ketakutan saat melihat kenyataan menjadi tua. Terpikir olehku, bagaimana suatu hari saat aku tidak lagi bisa membaca, bahkan kaca pembesar tidak lagi bisa menolong.
Saat manusia mendapat kesempatan seringkali tidak melihat hal itu sebagai sesuatu yang berharga. Namun saat kesempatan itu diambil, barulah mengerti dan menginginkannya kembali. Penyesalan selalu datang terakhir...
Moral :
Waktu adalah Kesempatan