18 Januari 2013

Banjir dan Kecoa

Saat membuat tulisan ini, Jakarta lagi terendam banjir.
Sejak 2 hari yang lalu, beberapa kawasan di Jakarta telah terendam banjir dan banyak warga yang telah diungsikan atau mengungsi.  

Akhirnya.... pagi ini air masuk juga ke dalam rumah.  Saat aku menulis air sudah mencapai semata kaki.  
Aku tidak berani menggerutu dan hanya bisa bersyukur karena aku masih bisa memiliki tempat kering di lantai 2 bahkan masih bisa menulis dan menggunakan internet.  Apa lagi yang kurang ?  Saat ini banyak sekali kawasan di Jakarta yang terendam dalam, lampu padam , dan masalah-masalah lainnya.

Kemarin , ibu pencuci baju di rumahku mengeluh karena rumahnya terendam banjir.  Semua kasurnya basah.  

Ibu Y  : "Aduuh... emang nasib orang miskin. Selalu saja dikasih masalah !"
Aku     : "Kasur yang terendam ibu jemur saja..."
(walaupun aku juga prihatin karena mau tidur di mana mereka sekeluarga ?)
Ibu Y  : "Kenapa juga orang miskin yang kena banjir ? Makanya ga enak jadi orang miskin!"
Aku     : "Siapa bilang banjir milih orang ? Orang kaya atau miskin kalau rumahnya kena banjir yah kena banjir aja bu..."

Percakapan ini membuatku berpikir bahwa rasa bersyukur dalam diri setiap orang itu memang sangat diperlukan.  Manusia tidak pernah lepas dari masalah.  Masalah bisa diselesaikan dengan banyak pilihan.  Aku adalah jenis manusia yang memilih menyelesaikan masalah dengan menjalankan dan bersyukur. 

Saat 2007 Jakarta juga mengalami banjir besar seperti sekarang. 
Saat itu, rumahku cuma 1 lantai dan semuanya terendam habis. Kami sekeluarga mengungsi ke apartemen adikku.  Vin senang sekali karena sekolah libur dan bisa bermain bersama sepupunya.  Sekalipun hati ini resah namun aku pasrah menerima semua apa adanya. Aku memilih untuk tidak khawatir .  Akhirnya, semua juga lewat... 

Tadi pagi saat air mulai naik di teras rumah, kecoa-kecoa mulai berlarian.  Karena geli melihat kecoa-kecoa tersebut, aku mulai memukuli mereka dengan sandal.
Kemudian aku menjadi sadar, saat melihat kerumunan kecoa yang semakin banyak... mereka hanya ingin bertahan hidup.  Akhirnya , aku berhenti memukuli mereka dan mulai memasang kain dan bata di kolong pintu untuk menghalangi mereka masuk.

Hal demikian terjadi juga dalam  hidup kita saat banjir ini.  Saat kita panik menghadapi banjir, kita mulai menggerutu, menyalahkan banyak hal bahkan Tuhan sebagai pihak yang menyebabkan bencana ini. Banyak yang mengeluh ," Duh Tuhan, kenapa sih hujan melulu?".
Alih-alih kita berpikir dan menyalahkan Tuhan sebagai penyebab bencana, lebih baik kita merubah pola pikir untuk survive seperti kecoa-kecoa tersebut.

Jika kecoa saja dengan naluri keseranggaannya mencoba bertahan hidup , mengapa manusia dengan naluri kemanusiaannya tidak mencoba bertahan memiliki pola pikir yang positif ?

Jika manusia bisa bertahan seperti itu, maka rasa bersyukur kita dalam menghadapi masalah apapun tidak mudah tergerus oleh ketidaknyamanan yang ditimbulkan sang masalah.

Seorang teman berkata dalam chat-an bb ," Mudah-mudahan tidak hujan lagi.."
Aku menjawabnya " Hujan masih tetap akan turun beberapa hari ini dan itu tidak bisa dirubah, lebih baik kamu mintanya mudah-mudahan hujannya rintik-rintik saja dan cukup 5 menit ..." :D 


Moral :
Survivors aren't always the strongest...
Sometimes they are the smartest...
But, more often simply the luckiest.
-Carrie Ryan-